Test x1

Kamis, 05 Agustus 2010

Selalu Berbagi Kepada Sesama

Ibrani 11: 1-3, 8-16; Lukas 12: 32-40

Bunda Theresa ketika menerima nobel perdamaian bercerita, “Saya mengunjungi sebuah keluarga Hindu yang mempunyai delapan orang anak. Sudah beberapa hari mereka tidak makan. Saya membawa nasi secukupnya untuk sekali makan kenyang. Saya melihat bahwa mereka semua lapar, tetapi tiba-tiba saya menjadi kaget, ketika saya melihat keluarga itu membagi makanan yang saya bawa dan memberikannya kepada tetangganya yang ternyata juga mengalami kelaparan. Agar cukup untuk semua, mereka mengubah nasi itu menjadi bubur.”
Kekurangan bukanlah alasan untuk tidak berbagi, karena iman yang akan mencukupkan semuanya. Surat Ibrani menceritakan pengalaman iman Bapa Abraham yang disuruh Tuhan pergi ke Tanah Kanaan. Tanpa banyak tanya, Abraham segera menyiapkan diri dan berangkat (band. Kej 12: 1-9). Abraham memasrahkan hidupnya kepada Tuhan. Ia yakin Tuhan akan menyertai dan melindunginya. Sementara Lukas 12: 32-40 menuliskan perintah Yesus untuk memberi sedekah. Dimana pemberian sedekah dilakukan setiap saat, karena Tuhan dapat datang kapan saja. Berbagi kepada sesama bukan dilakukan nanti ketika sudah sukses. Memberi bukan dilakukan ketika sudah berkelimpahan. Berbagi dan memberi dilakukan setiap saat. Dalam kekurangan pun kita dapat memberi. Banyak hal yang kita bisa berikan kepada sesama.
Masih menurut Bunda Theresa, "Di dalam dunia ini terdapat banyak penderitaan, sangat banyak! Penderitaan itu bermacam-macam, misalnya menderita lapar, karena tunawisma dan karena bermacam-macam penyakit. Tetapi saya tetap yakin bahwa penderitaan yang paling menyiksa adalah kesepian. Mereka itu adalah orang yang tidak pernah disayang dan tidak mempunyai teman seorangpun." Jika kesepian menjadi penderitaan yang paling menyiksa, itu berarti persahabatan dan persaudaraan-lah yang menjadi kebutuhan mendasar setiap orang. Itulah yang dapat kita berikan yaitu menjadi sahabat dan saudara bagi orang lain.
Sebuah pepatah Cina berkata tentang cara mendapatkan kebahagiaan:
Kalau Anda ingin bahagia selama satu jam, tidurlah.
Kalau Anda ingin bahagia selama satu hari, pergilah memancing.
Kalau Anda ingin bahagia selama satu bulan, menikahlah.
Kalau Anda ingin bahagia selama satu tahun, milikilah banyak warisan.
Kalau Anda ingin bahagia seumur hidup,
berbuatlah baik kepada sebanyak mungkin orang.
Berbuat baik kepada banyak orang berarti memiliki kita memiliki banyak sahabat dan saudara. Sudahkah kita berbagi, memberi dan berbuat baik hari ini? (M-M)

Kamis, 01 Juli 2010

ALLAH MENGUTUS KITA

Galatia 6:1-16; Lukas 10:1-11; 16-20

Menarik untuk direnungkan, kisah pengutusan Yesus kepada 70 orang murid ke tempat – tempat yang akan dikunjungi-Nya di dalam Injil Lukas. Pengutusan ini semacam persiapan akan kedatangan-Nya. Kisah ini memiliki penekanan pada tujuan pengutusan itu sendiri, bagaimana perilaku atau sikap sebagai utusan dalam menjalankan misi-Nya dan bagaimana sikap menghadapi resiko penolakan. Kita perlu merenungkannya untuk memahami kehendak Allah yang mengutus kita dalam kehidupan nyata saat ini.
Tugas utama murid-murid adalah menyatakan Damai sejahtera dan pelayanan kasih berupa penyembuhan penyakit. Sebagai murid – murid Kristus masa kini, kita pun diutus untuk menyatakan damai sejahtera dan melakukan kebajikan dengan melayani orang yang membutuhkan, sebagai persiapan menyambut kedatanganNya.
Dalam mengemban tugas pengutusan, kita dituntut bergaya hidup sederhana. Tidak perlu membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut. Karena didalam kesederhanaan nampak kekuatan dan kuasa Allah. Kita pun harus memelihara sopan santun dalam berhubungan dengan semua orang: “jangan memberi salam dalam perjalanan nanti kalau sudah tiba di dalam rumah”. Nasehat ini kedengarannya tidak sopan namun yang hendak dikatakan oleh Tuhan Yesus disini supaya para murid tidak menunjukkan kehebatan atau kekhususan mereka atau show of force.
Tuhan Yesus juga mengajar mereka bagaimana seharusnya bersikap sebagai utusan Allah, yaitu kesediaan untuk menerima pelayanan atau “berkat” yang disediakan oleh tuan rumah dimana mereka berada sehingga sebagai utusan yang diberi tugas untuk melayani mereka pun bersedia untuk menerima pelayanan dari orang lain.
Tuhan Yesus memberi nasehat dan arahan kepada utusan – utusanNya, bahwa tugas yang diemban bukannya tidak mengandung resiko. Resiko sebagai “anak domba yang berada di tengah – tengah serigala”. Resikonya mungkin bukan saja penolakan melainkan juga lebih dari itu, sehingga diperlukan kesiapan dan kesadaran akan adanya tantangan dalam perjalanan mereka.
Kita diutus ketengah-tengah “dunia serigala” maka sejak awal kita pun harus sadar akan berbagai resiko yang dihadapi antara lain penolakan. Begitu berat resiko dalam menyatakan syalom Allah, oleh sebab itu ada batasan sampai dimana kerja kita berakhir. Kita terpilih “hanya” sebagai utusan yang berarti ada kuasa yang lebih dari kita, yaitu kuasa Allah, kepadanyalah beban ini ditujukan. Konsekwensi dari penolakan syalom Allah bukan lagi menjadi urusan kita melainkan menjadi urusan Allah dengan manusia atau dunia yang menolak.
Kita pun diajarkan untuk saling bertolong-tolongan dalam menanggung beban. Demikianlah kita memenuhi hukum Kristus seperti yang tertulis dalam surat Galatia. Sehingga dalam mengemban tugas pengutusan itu kita harus saling bekerjasama. Dan janganlah kita jemu-jemu berbuat baik selama masih ada kesempatan. Marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.

Dengan demikian tidak perlu ada ketakutan untuk gagal menyerukan tanda-tanda kerajaan Allah, untuk menyatakan damai sejahtera Allah, untuk berbuat baik, untuk melayani sesama dimanapun kita berada. Mari kita lanjutkan perjalanan ini untuk mengunjungi semua tempat, dalam mempersiapkan kedatanganNya yang kedua kali sambil menyatakan Syalom Allah bagi semua. Amin. (NB)

Senin, 28 Juni 2010

NAPAK TILAS GEREJA KRISTEN JAWA TANGERANG

Oleh: Gantyo Koespradono

SETIAP langkahku diatur oleh Tuhan. Fakta inilah yang menjadikan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Tangerang terus melangkah maju hingga memasuki usianya yang ketujuh.

Pada mulanya adalah Keluarga Bapak Supomo yang bersama-sama dengan keluarga Kristen dari Jawa yang berdomisili di Tangerang membentuk Kelompok Paduan Suara

Keluarga Jawa di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sutopo pada Oktober tahun 1980. Paduan suara dibentuk guna menyongsong Natal pada tahun itu.

Begitu Kelompok Paduan Suara Keluarga Jawa terbentuk, anak-anak Tuhan asal Jawa ini kemudian bersepakat membentuk Persekutuan Kekeluargaan yang diberi nama Paguyuban Warga Kristen Jawi.

Perpaduan faktor iman dan budaya inilah yang akhirnya memotivasi Bapak Supomo dan saudara-saudaranya sepersekutuan untuk melaksanakan panggilan-Nya dengan mendirikan gereja dalam arti yang luas. Maka cikal bakal Gereja Kristen Jawa Tangerang pun lahir.

Disemangati tekad bersatu dalam Kristus atas orang-orang perantauan asal Jawa, pada tanggal 9 Januari 1981, untuk kali yang pertama, kebaktian keluarga diselenggarakan di rumah keluarga Achmadi, Cikokol. Adalah Pendeta Soetarman yang saat itu memimpin kebaktian keluarga tersebut. Sejak itu kebaktian keluarga diselenggarakan secara rutin setiap hari Jumat di rumah-rumah anggota paguyuban secara bergiliran. Pada tanggal 26 Januari 1981,

Paguyuban Warga Kristen Jawi mengajukan surat kepada GKJ Jakarta dan GKJ Kebayoran agar memberikan pembinaan iman kepada warga Kristen Jawa di Tangerang.

Untuk pertama kalinya pada 22 Februari 1981, Paguyuban Warga Kristen Jawi Tangerang mengadakan kebaktian pada hari Minggu yang ketika itu dimpimpin Majelis GKJ Kebayoran.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Atas kasih dan perkenan Tuhan pada 9 Agustus 1981, dengan jumlah warga 22 orang, diresmikanlah GKJ Pepanthan Tangerang yang menginduk pada GKJ Kebayoran yang dalam perjalanan sejarahnya berubah menjadi GKJ Nehemia.

Karena belum memiliki tempat yang permanen, ibadah Minggu berganti-ganti tempat hingga akhirnya mendapat lokasi permanen di Jl Sudirman No 50 Tangerang pada 17 Juni 1984. Ketika itu warga GKJ Tangerang 'balita' sudah berkembang menjadi 53 orang.

Pelan tapi pasti, dan terus dalam penyertaan Tuhan. Itulah realitas yang dialami GKJ Tangerang. Jumlah warga terus bertambah. Maka pada tanggal 9 November 1995, Majelis GKJ Nehemia Cabang Tangerang mengajukan surat permohonan kepada gereja induk GKJ Nehemia agar didewasakan/mandiri.

Pada Februari 1996, kerinduan warga Kristen Jawa di Tangerang itu lalu dibahas dalam Sidang Klasis GKJ Jakarta Bagian Barat. Maka pada bulan Agustus 1997, tepatnya tanggal 29, GKJ Nehemia Cabang Tangerang pun kemudian didewasakan/mandiri dan berganti nama menjadi GKJ Tangerang hingga sekarang.

Terus melangkah pasti di dalam Tuhan. Karena belum punya pendeta, Majelis GKJ Tangerang pun membentuk Tim Pemanggilan Pendeta, dan atas kasih Tuhan setelah melalui proses penjaringan dan penyaringan, pada 8 November 2000, Bapak Pramudianto dinyatakan lulus dalam ujian calon pendeta pada Sidang Kontrakta Gereja-Gereja Kristen Jawa Klasis Jakarta Bagian Barat. Pada 27 Januari 2001, Bapak Pramudianto kemudian ditahbiskan menjadi pendeta GKJ Tangerang.

Rabu, 23 Juni 2010

IKUTLAH AKU!

Galatia 5: 13-25; Lukas 9: 57-62

Usai kekalahan Prancis dari Meksiko 0-2 suasana di tim yang berjuluk “Ayam Jantan” itu kian kisruh. Nicolas Anelka yang terlibat adu mulut dengan sang pelatih, Raymond Domenech, ketika di ruang ganti dalam laga kontra Meksiko, dicoret dari daftar pemain dan dipulangkan ke Prancis. Sehari setelah kejadian itu, para pemain Prancis melancarkan aksi mogok latihan. Kali ini gantian Pactrick Evra, sang kapten, yang cekcok dengan pelatih fisik Prancis, Robert Duverne. Buntutnya, Direktur Teknik Federasi Sepakbola Prancis (FFF), Jean-Louis Valentin, memilih mundur karena menganggap insiden di tim Prancis sebagai sesuatu yang memalukan.
Ketegangan antara pemain dan pelatih (Domenech) dalam tubuh Timnas Prancis memang bukan kali pertama. Sebelumnya, nama-nama seperti Robert Pires, David Trezeguet, Thierry Henry, Karim Benzema, Patrick Vieira, pernah bersitegang dengan Domenech. Mereka beranggapan bahwa Domenech seringkali menerapkan strategi yang aneh sehingga para pemain mengalami kebingungan ketika berada di lapangan. Henry dengan berani mengatakan, “Pelatih (Domenech), kami punya sesuatu yang ingin disampaikan. Saya berbicara atas nama skuad. Kami mulai bosan dengan sesi latihan Anda. Dalam 12 tahun membela Timnas Prancis, saya tidak pernah berada di situasi seperti ini. Kami tidak tahu bagaimana caranya bermain, di mana posisi di lapangan, bagaimana mengorganisir. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kami tidak memiliki gaya permainan, tidak ada panduan. Semuanya tidak bekerja,” ujar Henry yang dilansir dalam Le Parisien. Pendapat Henry ini diperkuat oleh Pires yang mengatakan, “Anda tidak akan belajar banyak (dari Domenech). Anda tidak tahu kemana Anda harus berlari dan posisi mana yang harus Anda mainkan. Ini terjadi saat saya pertama kali di sana dan masih terjadi hingga kini. Para pemain adalah bintang di tim mereka masing-masing, namun saat mereka bergabung dengan timnas, mereka tidak tahu lagi bagaimana harus bermain.”
Sementara Domenech berpendapat bahwa, “Timnas Prancis dihuni oleh pemain-pemain bintang. Para pemain harus pintar dan melupakan ego mereka demi kepentingan tim. Ini bukan tentang seorang pemain di Piala Dunia. Jika mereka tak dapat memahaminya, saya butuh sebuah pistol,” candanya saat konfrensi Pers sebelum perhelatan Piala Dunia 2010 dimulai.
Pemain punya pendapat, pelatih juga punya pendapat. Namun yang jelas dalam sebuah permainan bola, kekompakan, kebersamaan dan kesatuan mutlak diperlukan. Tanpa adanya kekompakan dan kebersamaan, kemenangan akan semakin jauh dari kenyataan. Sudah menjadi tugas dari setiap pemain dan pelatih untuk menyadari serta mengusahakan hal itu.
Lihat saja imbas dari ketidak-harmonisan pemain dan pelatih dimana perfoma penampilan Prancis di lapangan jauh dari standard. Seri dari Uruguay serta kalah dari Meksiko dan Afrika Selatan, membuat Prancis sebagi tim pertama yang harus angkat koper dari Piala Dunia 2010. Kehebatan Prancis pada Piala Dunia 1998 dimana berhasil menyabet gelar juara, dan menjadi finalis pada Piala Dunia 2006, sirna dalam sekejab hanya gara-gara perpecahan dalam tubuh mereka sendiri. Bermain bola memang membutuhkan kekompakan, kebersamaan dan kesatuan dalam satu tim. Begitu juga dalam kehidupan gereja. Itulah sebabnya Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Galatia untuk berhati-hati terhadap roh pemecah (Gal 5: 20). Bagi Rasul Paulus, mengikut Yesus berarti memiliki kesediaan untuk hidup dalam kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal 5: 22-23). Hanya dengan mengusahakan kekompakan, kebersamaan dan kesatuan, kita dapat menjawab panggilan Yesus untuk mengikuti Dia. (M-M)

Senin, 21 Juni 2010

GKJ Tangerang

Jl. Jend. Sudirman No. 50
Kota Tangerang 15118

Tlp. 021-554 5016
Flexi 021-6848 2663

Sabtu, 19 Juni 2010

ALLAH MEMBEBASKAN DARI JERAT MAUT

Bacaan: Galatia 3: 23-29; Lukas 8: 26-39

Pertandingan Spanyol-Swiss mengejutkan banyak orang. Tidak pernah dibayangkan, Swiss yang dianggap underdog mampu mengalahkan Spanyol dengan skor 1-0. Bahkan jelang laga ini, pelatih Swiss, Ottmar Hitzfeld, menyatakan timnya memiliki tugas sulit dalam pertandingan pembukaan mereka di Grup H melawan Spanyol, yang disebutnya sebagai "tim nasional paling kuat di planet ini". Namun rasa optimisme senantiasa dikembangkan Hitzfeld kepada anak asuhnya. "Ini akan sulit. Seluruh pemain kami harus melakukan yang terbaik yang mereka miliki dan kami membutuhkan kiper (Diego) Benaglio untuk memainkan pertandingan ini. Tim ini harus benar-benar yakin kami bisa menang dan harus tetap memiliki perasaan itu. Pada sepuluh pertandingan melawan Spanyol, kami delapan kali mengalami kekalahan. Tetapi pintu selalu terbuka, sehingga ada kemungkinan," ujar Hitzfeld pad wartawan.
Hitzfeld sadar bahwa materi pemain-pemainnya berada di bawah pemain-pemain Spanyol, tapi hal itu tidak menyurutkan keberanian timnya dalam menghadapi Spanyol. Mereka turun ke lapangan dengan mental akan memenangi pertandingan. Strategi permainan yang terorganisir dengan baik, kekompakan lini pertahanan, kolektifitas para pemain, menjadi kunci kemenangan Swiss. Padahal tekanan bertubi-tubi justru dilakukan oleh Spanyol. Hampir sepanjang pertandingan, pemain-pemain Spanyol menguasai bola dan melancarkan serangan ke gawang Swiss. Namun tidak juga membuahkan gol. Sedangkan Swiss, ketika mendapatkan sedikit peluang langsung menyerang jantung pertahanan Spanyol dan menorehkan gol.
Kemenangan Swiss menunjukan bahwa mereka berhasil mengatasi dua tekanan berat, yaitu tekanan dari dalam diri mereka sendiri dan tekanan dari para pemain Spanyol. Anggapan banyak kalangan yang memprediksikan Swiss bakal kalah, tidak menyurutkan semangat juang mereka. Justru mereka memandang semua prediksi itu sebagai tantangan yang harus dihadapi. Keluar dari tekanan membuat Swiss mampu menaklukan “raksasa” Spanyol. Luapan kegembiraan pun membahana dari para suporter Swiss.
Orang Gerasa yang kerasukan banyak setan dapat dikatakan sebagai orang yang hidup dalam banyak tekanan. “Legion” yang ada dalam dirinya memaksa dia melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Orang itu tertekan dengan keberadaan “Legion” yang mengacaukan hidupnya. Kehadiran Yesus yang membebaskan Orang Gerasa dari Legion mengandung makna bahwa Orang Gerasa itu kini sudah hidup dalam kebebasan (tidak berada dalam tekanan lagi). Kehidupan yang bebas dari tekanan inilah yang diberikan oleh Allah dalam diri Yesus. Ia menghendaki agar manusia tidak dikungkung oleh tekanan-tekanan yang membuatnya tidak dapat menikmati indahnya hidup. Persoalan, permasalahan, pergumulan, hadir bukan untuk menekan, tapi untuk memberikan warna-warni dalam hidup ini. Keluar dari tekanan akan membuat kita melihat warna-warni keindahan itu. Sehingga luapan kegembiraan senantiasa hadir dalam keseharian. (M-M)



Kamis, 10 Juni 2010

ALLAH HADIR BAGI ORANG BERDOSA

Galatia 2: 15-21; Lukas 7: 36-50

“NO RASISM”. Slogan ini selalu ada di dalam setiap pertandingan sepakbola yang diselenggarakan oleh FIFA. Alasannya karena banyak insan sepakbola yang masih bersikap rasialis, entah para pemainnya maupun para suporternya. Memang kurang jelas kapan isu rasisme mulai memasuki serta mengotori dunia sepakbola. Ada pendapat yang mengatakan kalau isu rasisme mulai terdengar dalam dunia sepakbola sejak Arthur Wharton, pemain kulit hitam pertama yang meneken kontrak untuk bermain dalam liga Inggris bersama klub Darlington pada tahun 1889. Sejak saat itu, setiap kali Darlington berlaga di kandang lawan, Wharton tak pernah sepi dari teriakan para suporter yang berbau rasis.
Dalam sejarah sepakbola Amerika Latin pun isu rasisme pernah terjadi. Negara-negara Amerika Latin dulu, sangat mempertimbangkan kehadiran pemain kulit hitam dalam skuad tim nasionalnya. Kehadiran pemain kulit hitam pertama kali terjadi pada pertandingan Piala Amerika tahun 1916 dimana Uruguay menurunkan Isabelino Gradln dan Juan Delgado dalam pertandingan melawan Chile. Kehadiran dua pemain berkulit hitam itu sempat membuat Chile meminta pertandingan dibatalkan. Mereka menganggap Uruguay telah bermain curang dengan memakai dua pemain berkebangsaan Afrika. Permintaan ini ditolak karena kedua pemain ini adalah warga resmi Uruguay.
Brazil, negara yang banyak melahirkan pemain-pemain kelas dunia, dalam sejarahnya juga pernah dicemari oleh rasisme. Presiden Brazil, Epitcio Pessoa, pernah melarang adanya pemain kulit hitam dalam tim nasional Brazil yang akan mengikuti petandingan Piala Amerika tahun 1921.
Kejadian-kejadian yang berbau rasis inilah yang diupaya tidak terjadi di dalam lapangan hijau, karena sifat alami sepakbola adalah bisa dimainkan siapa saja dan kapan saja tanpa membedakan jenis kulit, kedudukan, srata sosial. Sepakbola bersifat menyatukan bukan membedakan. Dalam pengertian inilah setiap pertandingan resmi sepakbola selalu dibentangkan spanduk “NO RASISM”, sebagai sebuah upaya untuk memerangi rasisme. Walaupun sudah diupayakan nyatanya tindakan rasisme masih saja mewarnai wajah sepakbola. Di pentas Piala Dunia, pada final 2006, Zidane menjelaskan tindakannya menanduk Matterazi karena tidak terima adik perempuannya dihina ejekan yang berbau rasis.
Manusia memang selalu senang membeda-bedakan dirinya dengan orang lain, bahkan menganggap dirinya lebih baik dibanding yang lainnya. Dalam kisah di dalam Lukas 7: 36-50 terlihat adanya pembedaan dalam strukstur masyarakat Israel. Ada orang suci, ada orang berdosa. Orang suci tidak boleh bergaul dengan orang berdosa, begitu juga sebaliknya. Namun Yesus menerobos sekat pembedaan itu, bahkan ia dengan lantang mengatakan bahwa perempuan yang membasuh kaki-Nya – dimana secara srata sosial berada di kalangan pendosa – lebih baik ketimbang mereka yang berada di kalangan orang suci.
Perbedaan pasti selalu ada, tapi jangan sampai jadi pembedaan. Justru perbedaan harus diamini sebagai anugerah Tuhan yang paling indah, karena dengan begitu kita bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Dan jika Jumat, 11 Juni 2010, peliut kick off telah ditiupkan sebagai pertanda dimulainya Piala Dunia 2010, mari kita pun meniupkan peliut dalam hati kita untuk tidak membeda-bedakan orang lain. Karena Allah hadir bagi semua orang. (M-M)