Test x1

Senin, 28 Juni 2010

NAPAK TILAS GEREJA KRISTEN JAWA TANGERANG

Oleh: Gantyo Koespradono

SETIAP langkahku diatur oleh Tuhan. Fakta inilah yang menjadikan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Tangerang terus melangkah maju hingga memasuki usianya yang ketujuh.

Pada mulanya adalah Keluarga Bapak Supomo yang bersama-sama dengan keluarga Kristen dari Jawa yang berdomisili di Tangerang membentuk Kelompok Paduan Suara

Keluarga Jawa di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sutopo pada Oktober tahun 1980. Paduan suara dibentuk guna menyongsong Natal pada tahun itu.

Begitu Kelompok Paduan Suara Keluarga Jawa terbentuk, anak-anak Tuhan asal Jawa ini kemudian bersepakat membentuk Persekutuan Kekeluargaan yang diberi nama Paguyuban Warga Kristen Jawi.

Perpaduan faktor iman dan budaya inilah yang akhirnya memotivasi Bapak Supomo dan saudara-saudaranya sepersekutuan untuk melaksanakan panggilan-Nya dengan mendirikan gereja dalam arti yang luas. Maka cikal bakal Gereja Kristen Jawa Tangerang pun lahir.

Disemangati tekad bersatu dalam Kristus atas orang-orang perantauan asal Jawa, pada tanggal 9 Januari 1981, untuk kali yang pertama, kebaktian keluarga diselenggarakan di rumah keluarga Achmadi, Cikokol. Adalah Pendeta Soetarman yang saat itu memimpin kebaktian keluarga tersebut. Sejak itu kebaktian keluarga diselenggarakan secara rutin setiap hari Jumat di rumah-rumah anggota paguyuban secara bergiliran. Pada tanggal 26 Januari 1981,

Paguyuban Warga Kristen Jawi mengajukan surat kepada GKJ Jakarta dan GKJ Kebayoran agar memberikan pembinaan iman kepada warga Kristen Jawa di Tangerang.

Untuk pertama kalinya pada 22 Februari 1981, Paguyuban Warga Kristen Jawi Tangerang mengadakan kebaktian pada hari Minggu yang ketika itu dimpimpin Majelis GKJ Kebayoran.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Atas kasih dan perkenan Tuhan pada 9 Agustus 1981, dengan jumlah warga 22 orang, diresmikanlah GKJ Pepanthan Tangerang yang menginduk pada GKJ Kebayoran yang dalam perjalanan sejarahnya berubah menjadi GKJ Nehemia.

Karena belum memiliki tempat yang permanen, ibadah Minggu berganti-ganti tempat hingga akhirnya mendapat lokasi permanen di Jl Sudirman No 50 Tangerang pada 17 Juni 1984. Ketika itu warga GKJ Tangerang 'balita' sudah berkembang menjadi 53 orang.

Pelan tapi pasti, dan terus dalam penyertaan Tuhan. Itulah realitas yang dialami GKJ Tangerang. Jumlah warga terus bertambah. Maka pada tanggal 9 November 1995, Majelis GKJ Nehemia Cabang Tangerang mengajukan surat permohonan kepada gereja induk GKJ Nehemia agar didewasakan/mandiri.

Pada Februari 1996, kerinduan warga Kristen Jawa di Tangerang itu lalu dibahas dalam Sidang Klasis GKJ Jakarta Bagian Barat. Maka pada bulan Agustus 1997, tepatnya tanggal 29, GKJ Nehemia Cabang Tangerang pun kemudian didewasakan/mandiri dan berganti nama menjadi GKJ Tangerang hingga sekarang.

Terus melangkah pasti di dalam Tuhan. Karena belum punya pendeta, Majelis GKJ Tangerang pun membentuk Tim Pemanggilan Pendeta, dan atas kasih Tuhan setelah melalui proses penjaringan dan penyaringan, pada 8 November 2000, Bapak Pramudianto dinyatakan lulus dalam ujian calon pendeta pada Sidang Kontrakta Gereja-Gereja Kristen Jawa Klasis Jakarta Bagian Barat. Pada 27 Januari 2001, Bapak Pramudianto kemudian ditahbiskan menjadi pendeta GKJ Tangerang.

Rabu, 23 Juni 2010

IKUTLAH AKU!

Galatia 5: 13-25; Lukas 9: 57-62

Usai kekalahan Prancis dari Meksiko 0-2 suasana di tim yang berjuluk “Ayam Jantan” itu kian kisruh. Nicolas Anelka yang terlibat adu mulut dengan sang pelatih, Raymond Domenech, ketika di ruang ganti dalam laga kontra Meksiko, dicoret dari daftar pemain dan dipulangkan ke Prancis. Sehari setelah kejadian itu, para pemain Prancis melancarkan aksi mogok latihan. Kali ini gantian Pactrick Evra, sang kapten, yang cekcok dengan pelatih fisik Prancis, Robert Duverne. Buntutnya, Direktur Teknik Federasi Sepakbola Prancis (FFF), Jean-Louis Valentin, memilih mundur karena menganggap insiden di tim Prancis sebagai sesuatu yang memalukan.
Ketegangan antara pemain dan pelatih (Domenech) dalam tubuh Timnas Prancis memang bukan kali pertama. Sebelumnya, nama-nama seperti Robert Pires, David Trezeguet, Thierry Henry, Karim Benzema, Patrick Vieira, pernah bersitegang dengan Domenech. Mereka beranggapan bahwa Domenech seringkali menerapkan strategi yang aneh sehingga para pemain mengalami kebingungan ketika berada di lapangan. Henry dengan berani mengatakan, “Pelatih (Domenech), kami punya sesuatu yang ingin disampaikan. Saya berbicara atas nama skuad. Kami mulai bosan dengan sesi latihan Anda. Dalam 12 tahun membela Timnas Prancis, saya tidak pernah berada di situasi seperti ini. Kami tidak tahu bagaimana caranya bermain, di mana posisi di lapangan, bagaimana mengorganisir. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kami tidak memiliki gaya permainan, tidak ada panduan. Semuanya tidak bekerja,” ujar Henry yang dilansir dalam Le Parisien. Pendapat Henry ini diperkuat oleh Pires yang mengatakan, “Anda tidak akan belajar banyak (dari Domenech). Anda tidak tahu kemana Anda harus berlari dan posisi mana yang harus Anda mainkan. Ini terjadi saat saya pertama kali di sana dan masih terjadi hingga kini. Para pemain adalah bintang di tim mereka masing-masing, namun saat mereka bergabung dengan timnas, mereka tidak tahu lagi bagaimana harus bermain.”
Sementara Domenech berpendapat bahwa, “Timnas Prancis dihuni oleh pemain-pemain bintang. Para pemain harus pintar dan melupakan ego mereka demi kepentingan tim. Ini bukan tentang seorang pemain di Piala Dunia. Jika mereka tak dapat memahaminya, saya butuh sebuah pistol,” candanya saat konfrensi Pers sebelum perhelatan Piala Dunia 2010 dimulai.
Pemain punya pendapat, pelatih juga punya pendapat. Namun yang jelas dalam sebuah permainan bola, kekompakan, kebersamaan dan kesatuan mutlak diperlukan. Tanpa adanya kekompakan dan kebersamaan, kemenangan akan semakin jauh dari kenyataan. Sudah menjadi tugas dari setiap pemain dan pelatih untuk menyadari serta mengusahakan hal itu.
Lihat saja imbas dari ketidak-harmonisan pemain dan pelatih dimana perfoma penampilan Prancis di lapangan jauh dari standard. Seri dari Uruguay serta kalah dari Meksiko dan Afrika Selatan, membuat Prancis sebagi tim pertama yang harus angkat koper dari Piala Dunia 2010. Kehebatan Prancis pada Piala Dunia 1998 dimana berhasil menyabet gelar juara, dan menjadi finalis pada Piala Dunia 2006, sirna dalam sekejab hanya gara-gara perpecahan dalam tubuh mereka sendiri. Bermain bola memang membutuhkan kekompakan, kebersamaan dan kesatuan dalam satu tim. Begitu juga dalam kehidupan gereja. Itulah sebabnya Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Galatia untuk berhati-hati terhadap roh pemecah (Gal 5: 20). Bagi Rasul Paulus, mengikut Yesus berarti memiliki kesediaan untuk hidup dalam kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal 5: 22-23). Hanya dengan mengusahakan kekompakan, kebersamaan dan kesatuan, kita dapat menjawab panggilan Yesus untuk mengikuti Dia. (M-M)

Senin, 21 Juni 2010

GKJ Tangerang

Jl. Jend. Sudirman No. 50
Kota Tangerang 15118

Tlp. 021-554 5016
Flexi 021-6848 2663

Sabtu, 19 Juni 2010

ALLAH MEMBEBASKAN DARI JERAT MAUT

Bacaan: Galatia 3: 23-29; Lukas 8: 26-39

Pertandingan Spanyol-Swiss mengejutkan banyak orang. Tidak pernah dibayangkan, Swiss yang dianggap underdog mampu mengalahkan Spanyol dengan skor 1-0. Bahkan jelang laga ini, pelatih Swiss, Ottmar Hitzfeld, menyatakan timnya memiliki tugas sulit dalam pertandingan pembukaan mereka di Grup H melawan Spanyol, yang disebutnya sebagai "tim nasional paling kuat di planet ini". Namun rasa optimisme senantiasa dikembangkan Hitzfeld kepada anak asuhnya. "Ini akan sulit. Seluruh pemain kami harus melakukan yang terbaik yang mereka miliki dan kami membutuhkan kiper (Diego) Benaglio untuk memainkan pertandingan ini. Tim ini harus benar-benar yakin kami bisa menang dan harus tetap memiliki perasaan itu. Pada sepuluh pertandingan melawan Spanyol, kami delapan kali mengalami kekalahan. Tetapi pintu selalu terbuka, sehingga ada kemungkinan," ujar Hitzfeld pad wartawan.
Hitzfeld sadar bahwa materi pemain-pemainnya berada di bawah pemain-pemain Spanyol, tapi hal itu tidak menyurutkan keberanian timnya dalam menghadapi Spanyol. Mereka turun ke lapangan dengan mental akan memenangi pertandingan. Strategi permainan yang terorganisir dengan baik, kekompakan lini pertahanan, kolektifitas para pemain, menjadi kunci kemenangan Swiss. Padahal tekanan bertubi-tubi justru dilakukan oleh Spanyol. Hampir sepanjang pertandingan, pemain-pemain Spanyol menguasai bola dan melancarkan serangan ke gawang Swiss. Namun tidak juga membuahkan gol. Sedangkan Swiss, ketika mendapatkan sedikit peluang langsung menyerang jantung pertahanan Spanyol dan menorehkan gol.
Kemenangan Swiss menunjukan bahwa mereka berhasil mengatasi dua tekanan berat, yaitu tekanan dari dalam diri mereka sendiri dan tekanan dari para pemain Spanyol. Anggapan banyak kalangan yang memprediksikan Swiss bakal kalah, tidak menyurutkan semangat juang mereka. Justru mereka memandang semua prediksi itu sebagai tantangan yang harus dihadapi. Keluar dari tekanan membuat Swiss mampu menaklukan “raksasa” Spanyol. Luapan kegembiraan pun membahana dari para suporter Swiss.
Orang Gerasa yang kerasukan banyak setan dapat dikatakan sebagai orang yang hidup dalam banyak tekanan. “Legion” yang ada dalam dirinya memaksa dia melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Orang itu tertekan dengan keberadaan “Legion” yang mengacaukan hidupnya. Kehadiran Yesus yang membebaskan Orang Gerasa dari Legion mengandung makna bahwa Orang Gerasa itu kini sudah hidup dalam kebebasan (tidak berada dalam tekanan lagi). Kehidupan yang bebas dari tekanan inilah yang diberikan oleh Allah dalam diri Yesus. Ia menghendaki agar manusia tidak dikungkung oleh tekanan-tekanan yang membuatnya tidak dapat menikmati indahnya hidup. Persoalan, permasalahan, pergumulan, hadir bukan untuk menekan, tapi untuk memberikan warna-warni dalam hidup ini. Keluar dari tekanan akan membuat kita melihat warna-warni keindahan itu. Sehingga luapan kegembiraan senantiasa hadir dalam keseharian. (M-M)



Kamis, 10 Juni 2010

ALLAH HADIR BAGI ORANG BERDOSA

Galatia 2: 15-21; Lukas 7: 36-50

“NO RASISM”. Slogan ini selalu ada di dalam setiap pertandingan sepakbola yang diselenggarakan oleh FIFA. Alasannya karena banyak insan sepakbola yang masih bersikap rasialis, entah para pemainnya maupun para suporternya. Memang kurang jelas kapan isu rasisme mulai memasuki serta mengotori dunia sepakbola. Ada pendapat yang mengatakan kalau isu rasisme mulai terdengar dalam dunia sepakbola sejak Arthur Wharton, pemain kulit hitam pertama yang meneken kontrak untuk bermain dalam liga Inggris bersama klub Darlington pada tahun 1889. Sejak saat itu, setiap kali Darlington berlaga di kandang lawan, Wharton tak pernah sepi dari teriakan para suporter yang berbau rasis.
Dalam sejarah sepakbola Amerika Latin pun isu rasisme pernah terjadi. Negara-negara Amerika Latin dulu, sangat mempertimbangkan kehadiran pemain kulit hitam dalam skuad tim nasionalnya. Kehadiran pemain kulit hitam pertama kali terjadi pada pertandingan Piala Amerika tahun 1916 dimana Uruguay menurunkan Isabelino Gradln dan Juan Delgado dalam pertandingan melawan Chile. Kehadiran dua pemain berkulit hitam itu sempat membuat Chile meminta pertandingan dibatalkan. Mereka menganggap Uruguay telah bermain curang dengan memakai dua pemain berkebangsaan Afrika. Permintaan ini ditolak karena kedua pemain ini adalah warga resmi Uruguay.
Brazil, negara yang banyak melahirkan pemain-pemain kelas dunia, dalam sejarahnya juga pernah dicemari oleh rasisme. Presiden Brazil, Epitcio Pessoa, pernah melarang adanya pemain kulit hitam dalam tim nasional Brazil yang akan mengikuti petandingan Piala Amerika tahun 1921.
Kejadian-kejadian yang berbau rasis inilah yang diupaya tidak terjadi di dalam lapangan hijau, karena sifat alami sepakbola adalah bisa dimainkan siapa saja dan kapan saja tanpa membedakan jenis kulit, kedudukan, srata sosial. Sepakbola bersifat menyatukan bukan membedakan. Dalam pengertian inilah setiap pertandingan resmi sepakbola selalu dibentangkan spanduk “NO RASISM”, sebagai sebuah upaya untuk memerangi rasisme. Walaupun sudah diupayakan nyatanya tindakan rasisme masih saja mewarnai wajah sepakbola. Di pentas Piala Dunia, pada final 2006, Zidane menjelaskan tindakannya menanduk Matterazi karena tidak terima adik perempuannya dihina ejekan yang berbau rasis.
Manusia memang selalu senang membeda-bedakan dirinya dengan orang lain, bahkan menganggap dirinya lebih baik dibanding yang lainnya. Dalam kisah di dalam Lukas 7: 36-50 terlihat adanya pembedaan dalam strukstur masyarakat Israel. Ada orang suci, ada orang berdosa. Orang suci tidak boleh bergaul dengan orang berdosa, begitu juga sebaliknya. Namun Yesus menerobos sekat pembedaan itu, bahkan ia dengan lantang mengatakan bahwa perempuan yang membasuh kaki-Nya – dimana secara srata sosial berada di kalangan pendosa – lebih baik ketimbang mereka yang berada di kalangan orang suci.
Perbedaan pasti selalu ada, tapi jangan sampai jadi pembedaan. Justru perbedaan harus diamini sebagai anugerah Tuhan yang paling indah, karena dengan begitu kita bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Dan jika Jumat, 11 Juni 2010, peliut kick off telah ditiupkan sebagai pertanda dimulainya Piala Dunia 2010, mari kita pun meniupkan peliut dalam hati kita untuk tidak membeda-bedakan orang lain. Karena Allah hadir bagi semua orang. (M-M)