Test x1

Kamis, 10 Juni 2010

ALLAH HADIR BAGI ORANG BERDOSA

Galatia 2: 15-21; Lukas 7: 36-50

“NO RASISM”. Slogan ini selalu ada di dalam setiap pertandingan sepakbola yang diselenggarakan oleh FIFA. Alasannya karena banyak insan sepakbola yang masih bersikap rasialis, entah para pemainnya maupun para suporternya. Memang kurang jelas kapan isu rasisme mulai memasuki serta mengotori dunia sepakbola. Ada pendapat yang mengatakan kalau isu rasisme mulai terdengar dalam dunia sepakbola sejak Arthur Wharton, pemain kulit hitam pertama yang meneken kontrak untuk bermain dalam liga Inggris bersama klub Darlington pada tahun 1889. Sejak saat itu, setiap kali Darlington berlaga di kandang lawan, Wharton tak pernah sepi dari teriakan para suporter yang berbau rasis.
Dalam sejarah sepakbola Amerika Latin pun isu rasisme pernah terjadi. Negara-negara Amerika Latin dulu, sangat mempertimbangkan kehadiran pemain kulit hitam dalam skuad tim nasionalnya. Kehadiran pemain kulit hitam pertama kali terjadi pada pertandingan Piala Amerika tahun 1916 dimana Uruguay menurunkan Isabelino Gradln dan Juan Delgado dalam pertandingan melawan Chile. Kehadiran dua pemain berkulit hitam itu sempat membuat Chile meminta pertandingan dibatalkan. Mereka menganggap Uruguay telah bermain curang dengan memakai dua pemain berkebangsaan Afrika. Permintaan ini ditolak karena kedua pemain ini adalah warga resmi Uruguay.
Brazil, negara yang banyak melahirkan pemain-pemain kelas dunia, dalam sejarahnya juga pernah dicemari oleh rasisme. Presiden Brazil, Epitcio Pessoa, pernah melarang adanya pemain kulit hitam dalam tim nasional Brazil yang akan mengikuti petandingan Piala Amerika tahun 1921.
Kejadian-kejadian yang berbau rasis inilah yang diupaya tidak terjadi di dalam lapangan hijau, karena sifat alami sepakbola adalah bisa dimainkan siapa saja dan kapan saja tanpa membedakan jenis kulit, kedudukan, srata sosial. Sepakbola bersifat menyatukan bukan membedakan. Dalam pengertian inilah setiap pertandingan resmi sepakbola selalu dibentangkan spanduk “NO RASISM”, sebagai sebuah upaya untuk memerangi rasisme. Walaupun sudah diupayakan nyatanya tindakan rasisme masih saja mewarnai wajah sepakbola. Di pentas Piala Dunia, pada final 2006, Zidane menjelaskan tindakannya menanduk Matterazi karena tidak terima adik perempuannya dihina ejekan yang berbau rasis.
Manusia memang selalu senang membeda-bedakan dirinya dengan orang lain, bahkan menganggap dirinya lebih baik dibanding yang lainnya. Dalam kisah di dalam Lukas 7: 36-50 terlihat adanya pembedaan dalam strukstur masyarakat Israel. Ada orang suci, ada orang berdosa. Orang suci tidak boleh bergaul dengan orang berdosa, begitu juga sebaliknya. Namun Yesus menerobos sekat pembedaan itu, bahkan ia dengan lantang mengatakan bahwa perempuan yang membasuh kaki-Nya – dimana secara srata sosial berada di kalangan pendosa – lebih baik ketimbang mereka yang berada di kalangan orang suci.
Perbedaan pasti selalu ada, tapi jangan sampai jadi pembedaan. Justru perbedaan harus diamini sebagai anugerah Tuhan yang paling indah, karena dengan begitu kita bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Dan jika Jumat, 11 Juni 2010, peliut kick off telah ditiupkan sebagai pertanda dimulainya Piala Dunia 2010, mari kita pun meniupkan peliut dalam hati kita untuk tidak membeda-bedakan orang lain. Karena Allah hadir bagi semua orang. (M-M)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar